IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI SD NEGERI JARAKAN PANGGUNGHARJO SEWON BANTUL

Authors

  • Anny Farihatun Nisa

Abstract

 

IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI SD NEGERI JARAKAN PANGGUNGHARJO SEWON BANTUL

Anny Farihatun Nisa

Jurusan Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas NegeriSurabaya

e-mail: at.farihatunnisa@gmail.com

Rivo Nugroho

Jurusan Pendidikan Non Formal, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya

e-mail: rivonugroho@unesa.ac.id

 

Abstrak

Sekolah Dasar Negeri Jarakan menerapkan program pendidikan berbasis kearifan lokal melalui kurikulum. Penerapan program pendidikan berbasis kearifan lokal di sekolah menjadi fenomena yang unik dan menarik di tengah kondisi berlangsungnya praktik pendidikan yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kebudayaan para pendahulunya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kearifan lokal yang diterapkan dan mendeskripsikan implementasi serta peluang dan tantangan dalam mengembangkan kurikulum kearifan lokal. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan rancangan penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data dianalisis menggunakan teknik reduksi data, penyajian data, verifikasi data. Sedangkan pengujian keabsahan data dilihat dari kredibilitas, tranferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) bentuk-bentuk kearifan lokal yang diterapkan di Sekolah Dasar Negeri Jarakan yaitu TOGA (Tanaman Obat Keluarga), bahasa dan budaya Jawa (permainan tradisional jawa, lagu daerah, tembang macapat, tembang dolanan anak, kuliner tradisional, bahasa jawa serta unggah ungguhnya, penanaman nilai-nilai luhur), kesenian (seni batik, seni tari, dan seni karawitan), dan artefak. (2) Implementasi kurikulum berbasis kearifan lokal melalui tiga standar pend

idikan yaitu standar isi yang terdiri dari 25% masuk dalam intrakurikuler dan 75% dalam ekstrakurikuler, standar proses meliputi perencanaan pembelajaran dengan menyisipkan kearifan lokal dalam mata pelajaran kemudian dikembangkan dalam pelaksanaan pembelajaran, serta dilakukan penilaian dengan menghitung nilai hasil ulangan, standar penilaian dilakukan oleh dinas ke satuan pendidikan, satuan pendidikan ke pendidik, dan pendidik ke peserta. (3) implementasi kurikulum berbasis kearifan lokal dihadapkan beberapa peluang seperti minat peserta didik yang tinggi terhadap seni budaya juga beberapa tantangan diantaranya pembiayaan yang tidak sedikit mengakibatkan sarana prasarana kurang memadai, kesadaran orang tua/wali murid, kurangnya kerjasama dengan pihak lain, serta tenaga pengajar yang belum seluruhnya memahami kearifan lokal Yogyakarta. Adanya berbagai tantangan yang dihadapi, sekolah dasar negeri Jarakan masih berkeinginan mengelola kearifan lokal yang lebih baik dengan menjalin kerjasama dengan industri.

Kata Kunci: kurikulum, kearifan lokal, intrakurikuler, ekstrakurikuler

THE IMPLEMENTATION OF CURRICULUM BASED ON LOCAL WISDOM AT STATE ELEMENTARY SCHOOL OF JARAKAN PANGGUNGHARJO SEWON BANTUL

Abstract

Jarakan elementary school apply education program based on local wisdom through the curriculum. The application of education program based on local wisdom in school be a unique and attractive program in society which mostly neglecting curtural values from their ancestor. In this case, this research aims to identify the forms of local wisdom that is implemented, to describe its implementation, and to describe the opportunities and challenges in developing the curriculum based on local wisdom. This study uses descriptive qualitative approach with case study research design. The data is analysed by using data reduction technique, data presentation, and data verification. While to test the data validity, it uses credibility, transferability, dependability (reliability), and confirmability. The result of this study shows that: (1) the forms of local wisdom which is implemented in state elementary school of Jarakan are TOGA (Family Medicinal Plants), language and Javanese Culture ( Javanese traditional games, traditional songs, tembang macapat, tembang dolanan anak, traditional culinary, javanese language with its attitude and role, karawitan art) and artifacts, (2) The implementation of curriculum based on local wisdom through three standards of education, those are content standards which include 25% of intracurricular and 75% of extracurricular, process standards include lesson plan by inserting the local wisdom in the subjects and then it is developed into teaching and learning process, then doing an assessment by calculating the exam, assessment standard carries out by the service to the education unit, from the education unit to the teacher, from the teacher to the students. (3) the implementation of curriculum based on local wisdom is faced by several opportunities such as students high interest toward culture art and some challenges as well, for instance high cost that causes the limitation of facilities, parents involvements limit, lack of cooperation with other institutions, and teachers that do not really understand about local wisdom in Yogyakarta. With various challenges that be faced by them, Jarakan elementary school still have eager to manage local wisdom better with make a cooperation with the industry.

 

Key Words: curriculum implementation, local wisdom, intracurricular, extracurricular.

 


PENDAHULUAN

Manan (Pidarta, 2009:169) menyatakan pendidikan adalah enkulturasi, yaitu bahwa pendidikan merupakan suatu proses membuat orang kemasukan budaya, membuat orang berperilaku mengikuti budaya yang memasuki dirinya. Pembudayaan merupakan proses untuk menempatkan budaya sebagai isi dan misi proses pendidikan sehingga potensi seseorang untuk belajar dan menyesuaikan pikiran dan sikap terhadap adat, serta sistem norma budayanya berkembang dengan baik (Koentjaraningrat, 2011:146). Hal senada juga dikemukakan oleh Tilaar (2011:41) bahwa pendidikan dan kebudayaan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan karena saling mengikat. Kebudayaan hidup dan berkembang karena proses pendidikan, sedangkan pendidikan hanya ada dalam suatu konteks kebudayaan.

Salah satu tugas pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan adalah mampu membentuk dan mengembangkan generasi baru menjadi orang-orang dewasa yang berbudaya, terutama berbudaya nasional (Pidarta, 2009:171). Sedangkan kebudayaan nasional berakar dari kebudayaan daerah, maka sudah sewajarnya pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kebudayaan daerah (lokal). Melalui proses itulah diharapkan peserta didik mempunyai ketrampilan bertahan hidup dan sikap atau karakter untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa melupakan kebudayaan lokal.

Secara filosofis tujuan pendidikan di Indonesia mengandung tiga nilai, seperti yang dikemukakan oleh UNESCO (Roesminingsih & Susarrno 2012:10), yaitu autonomy, equity, dan survival. Autonomy (otonomi) berarti memberikan kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan kepada individu maupun kelompok, untuk dapat hidup mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Equity (keadilan) berarti tujuan pendidikan tersebut memberikan kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi, dengan memberinya pendidikan dasar yang sama. Sedangkan survival berarti dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia salah seorang tokoh yang mempunyai perhatian besar untuk mengembangkan pendidikan yang berkarakter pada kebudayaan adalah Ki Hadjar Dewantara. Pentingnya menempatkan budaya lokal sebagai fondasi pendidikan telah diisyaratkan Ki Hadjar dalam pidato

 

pengukuhan Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957 bahwa:

“Seperti berulang-ulang telah saya nyatakan sendiri, pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Disamping itu pelajarilah hidup kejiwaan rakyat kita, dengan adat istiadatnya yang dalam hal ini bukannya untuk kita tiru secara mentah-mentah, namun karena bagi kita adat istiadat itu merupakan petunjuk-petunjuk yang berharga (Dewantara, 2009:202)”.

Pernyataan tersebut menggambarkan cita-cita pendidikan Ki Hadjar Dewantara tentang pentingnya nilai-nilai kebudayaan yang dijadikan landasan dalam menyelenggarakan pendidikan. Konsep pendidikan sebagai proses pembudayaan dan berakar pada nilai budaya Indonesia dapat pula ditemukan pada Undang Undang Republik Indonesia tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 3 Tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan pasal 4 ayat 3 yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan peserta didik sepanjang hayat. Penegasan yang sama tertuang dalam Bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 ayat 16, bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Indonesia adalah negara besar yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dengan wilayah yang terdiri 13.000 pulau. Kebhinekaan yang terdiri dari 300 suku bangsa, dengan 200 bahasa yang berbeda. Khazanah kebudayaan Indonesia juga memiliki kekayaan ragam dengan corak karakter kebangsaan. Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum terbentuknya Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal atau kearifan lokal yang berasal dari suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia (Ichwal, 2010 : 142). Simbolis tersebut biasanya digambarkan dalam lagu daerah, kerajinan tangan, tarian, kekhususan tempat atau rumah, dan potensi pariwisata. Kekayaan budaya tersebut harus dilestarikan sebagai jalan menjadi bangsa yang berkarakter. Ahmadi (2012 : 1) menerangkan kearifan lokal atau keunggulan lokal adalah segala sesuatu yang merupakan ciri khas kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain.

Idealitas untuk mewujudkan pendidikan nasional yang berakar pada keragaman kearifan lokal belum mendapat perhatian memadai dari kalangan. Arikunto dan Said mengatakan sejak akhir tahun 1980-an sejumlah tokoh pendidikan menggagas pengintegrasian pendidikan dan kebudayaan melalui kurikulum muatan lokal. Kurikulum muatan lokal bertujuan mengembangkan pemahaman peserta didik mengenai keberagaman budaya lokal dan lingkungannya (Musanna, 2014:4).  Keberadaan kurikulum muatan lokal bahkan mengalami disorientasi dengan berkembangnya praktik yang cenderung mengabaikan realitas sosial budaya dimana pendidikan tersebut berlangsung. Selain itu, dari sisi yang berbeda generasi muda saat ini mulai meninggalkan budayanya sendiri dan beralih pada budaya barat. Suatu penelitian mengatakan bahwa dalam suatu kasus, ditemukan generasi muda menolak budaya yang hendak dibawa oleh generasi pendahulunya.

Konsep pendidikan berbasis kearifan lokal menurut  Asmani (2012:30) adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik. Sekolah berbasis kearifan lokal memfasilitasi bagi pesera didik untuk mengetahui, mengenal keunggulan daerah tempat tinggal mereka, memahami segala aspek yang berkaitan dengan keunggulan lokal tersebut. Selain itu, peserta didik juga mampu mengolah sumber daya, terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan keunggulan lokal, sehingga memperoleh penghasilan seklaigus dapat melestarikan budaya dan tradisi daerahnya. Semua keuntungan tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan intrakulikuler maupun ekstrakulikuler di sekolah.

Bantul merupakan salah satu kabupaten di Provinsi D.I. Yogyakarta yang mempunyai ragam budaya dan kesenian. Kabupaten ini mempunyai motto yang populer dengan singkatan “projotamansari” yang berarti produktif-profesional, ijo royo-royo, tertib, aman, sehat dan asri. Kabupaten ini terbagi menjadi 17 kecamatan, salah satunya adalah kecamatan Sewon. Kecamatan Sewon berada di sebelah timur laut ibukota kabupaten Bantul. Daerah ini merupakan kecamatan yang kaya akan potensi lokal, mulai dari obyek wisata, kesenian daerah dan tradisi-tradisi, yang potensi-potensi tersebut perlu dilestarikan, salah satunya melalui pendidikan dasar.

Sekolah Dasar Negeri (SDN) Jarakan merupakan salah satu sekolah dasar yang mengembangkan keunggulan lokal seni budayanya. SD Negeri Jarakan yang mempunyai jumlah peserta didik sebanyak 432 orang berdiri di desa Panggungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Provinsi D. I. Yogyakarta. Awalnya SD Negeri Jarakan terdiri dari 2 sekolah, yaitu SD Negeri Jarakan 1 dan SD Negeri Jarakan 2. Semenjak adanya gempa di Yogyakarta pada Mei 2006, sekolah ini dibangun kembali oleh Yayasan berasal dari China, sehingga 2 sekolah tersebut dijadikan 1 (regrouping) menjadi SD Jarakan yang dikenal sebagai sekolah binaan Fu Qing Indonesia.

SD Negeri Jarakan menerapkan kurikulum berbasis kearifan lokal atas mandat dari Pemerintah Kabupaten Bantul, tertuang dalam Perda (Peraturan Daerah) Kabupaten Bantul Nomor 15 Tahun 2014 Pasal 24 Ayat 2. Kearifan lokal ada yang diintegrasikan dalam mata pelajaran sebanyak 25%, selebihnya dijadikan sebagai kegiatan ekstrakulikuler. Potensi yang dikembangkan di SD Negeri Jarakan adalah potensi seni budaya, diantaranya adalah membatik. Membatik merupakan satu bidang kearifan lokal titipan dari Pemerintah Kabupaten Bantul yang diwajibkan sebagai mata pelajaran tersendiri ke seluruh sekolah. Di SD Negeri Jarakan pelajaran membatik dibebankan kepada seluruh peserta didik dengan dua kelompok. Kelompok 1 terdiri dari kelas 1, 2, 3 hanya membuat pola batik. Kemudian kelompok 2 terdiri dari kelas 4, 5, 6 sudah mulai praktek secara langsung membuat batik. Selain menjadi mata pelajaran tersendiri dan wajib, membatik juga masuk dalam kegiatan ekstrakulikuler.

Kearifan lokal kesenian ini banyak diterapkan di kegiatan ekstrakulikuler. Hanya beberapa saja yang diintegrasikan di dalam mata pelajaran, seperti permainan gobak sodor yang ada pada buku kurikulum 2013 tematik. Jika kondisi demikian, maka guru langsung keluar menuju lapangan bersama peserta didik untuk melakukan permainan sekaligus melakukan pembelajaran.

Dalam praktik operasionalnya ketercapaian fungsi pendidikan tersebut tidak terlepas dari kurikulum. Kurikulum merupakan suatu sistem program pembelajaran untuk mencapai tujuan institusional pada lembaga pendidikan, sehingga kurikulum memegang peranan penting dalam mewujudkan sekolah yang bermutu. Kurikulum merupakan semua pengalaman yang telah direncanakan untuk mempersiapkan siswa mencapai tujuan pendidikan. Di antara langkah yang paling penting adalah langkah dalam mengimplementasikan. Implementasi kurikulum merupakan proses penerapan ide, konsep, kebijakan atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga mampu memberikan akibat yang baik berupa perubahan dari segi kognitif (pengetahuan), psikomotorik (ketrampilan), dan afektif (sikap) yang dimiliki peerta didik. Seringkali kegagalan dari sebuah kebijakan pendidikan yang diterapkan bukan dari tidak tepatnya kebijakan, namun ketidaktepatan dalam mengimplementasikan.

Pola implementasi sebaiknya disusun dan disesuaikan dengan pola pengembangan kurikulum yang digunakan dan kondisi dimana implementasi itu berlangsung. Kurikulum yang akan dipelajari oleh setiap individu siswa merupakan hasil pengalaman yang diperoleh dari partisipasi mereka dalam proses belajar yang diakukan guru. Jadi, masing-masing siswa mempunyai peran di dalam menentukan kurikulum yang didasarkan pada pengalamamnnya. Tentunya yang paling penting diperhatikan adalah bahwa implementasi harus dipersiapkan dan direncanakan untuk memastikan bahwa implementasi berlangsung dengan baik.

Penerapan kebijakan atas dilaksanakannya pendidikan berbasis kearifan lokal di SD Negeri Jarakan menjadi fenomena yang unik dalam kondisi maraknya perkembangan praktik pendidikan yang cenderung mulai mengabaikan kebudayaan yang dibawa para pendahulunya. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana menerapkan kearifan lokal dalam pendidikan. Harapannya melalui uraian-uraian yang tersusun melalui proses identifikasi, seleksi, dan verifikasi dapat menjadi referensi ilmiah terkait dengan implementasi kurikulum kearifan lokal.

 

METODE

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan rancangan studi kasus untuk mendeskripsikan implementasi kurikulum berbasis kearifan lokal di SD Negeri Jarakan Pangungharjo Sewon Bantul. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Selanjutnya data yang telah diperoleh dianalisis melalui tiga teknik  yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi sehingga data yang diperoleh dapat mudah dipahami dan dipertanggungjawabkan kebenarannya.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

  1. A.    Bentuk-bentuk Kearifan Lokal yang Diterapkan di SDN Jarakan Panggungharjo Sewon Bantul

Bentuk-bentuk kearifan lokal yang diterapkan di SDN Jarakan Panggungharjo Sewon Bantul masing-masing mempunyai tujuan khusus yaitu:

  1. Bertanam TOGA (Tanaman Obat Keluarga) bertujuan untuk mengenal berbagai TOGA dan dapat memanfaatkan TOGA dalam kehidupan sehari hari.
  2. Pendidikan Bahasa Jawa bertujuan agar peserta didik dapat berbahasa jawa sesuai dengan unggah ungguhnya.
  3. Budaya Jawa meliputi:
    1.                    a.     permainan tradisional jawa bertujuan agar anak mampu mengenal dan melakukan berbagai permainan tradisional, seperti egrang, dakon, tempat ingkling, theklek panjang.
    2.                    b.     lagu daerah dan tembang dolanan anak bertujuan agar anak mampu mengenal dan menyanyikan tembang macapat, lagu daerah, serta lagu dolanan anak dengan baik.
    3.                    c.     kuliner tradisional bertujuan agar anak dapat memanfaatkan bahan-bahan makanan yang dapat diperoleh di sekitar dengan cara sederhana.
    4. Seni Budaya, meliputi karawitan, tari dan membatik bertujuan  untu meningkatkan apresiasi terhadap seni budaya warisan daerah.

Hal ini sejalan dengan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Suardiman (Wagiran, 2011:4) bahwa dalam lingkup budaya, dimensi fisik dari kearifan lokal meliputi aspek: (a) upacara adat, (b) cagar budaya, (c) pariwisata alam, (d) transportasi tradisional, (e) permainan tradisional, (f) prasarana budaya, (g) pakaian adat, (h) warisan budaya, (i) museum, (j) lembaga budaya, (k) kesenian, (l) desa budaya, (m) kesenian dan kerajinan, (n) cerita rakyat, (o) dolanan anak, dan (p) wayang. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Sungri (Wagiran, 2011:3), bentuk kearifan lokal dapat berupa pertanian, kerajinan tangan, pengobatan herbal, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, perdagangan, seni budaya, bahasa daerah, philosophi, agama dan budaya serta makanan tradisional.

Dari masing-masing bentuk kearifan lokal yang diterapkan mempunyai tujuan tersendiri. Berikut tujuan masing-masing dari bentuk kearifan lokal:

  1. Bertanam TOGA (Tanaman Obat Keluarga) bertujuan untuk mengenal berbagai TOGA dan dapat memanfaatkan TOGA dalam kehidupan sehari hari.
  2. Pendidikan Bahasa Jawa bertujuan agar peserta didik dapat berbahasa jawa sesuai dengan unggah ungguhnya.
  3. Budaya Jawa meliputi:
    1.                    a.     permainan tradisional jawa bertujuan agar anak mampu mengenal dan melakukan berbagai permainan tradisional, seperti egrang, dakon, tempat ingkling, theklek panjang.
    2.                    b.     lagu daerah dan tembang dolanan anak bertujuan agar anak mampu mengenal dan menyanyikan tembang macapat, lagu daerah, serta lagu dolanan anak dengan baik.
    3.                    c.     kuliner tradisional bertujuan agar anak dapat memanfaatkan bahan-bahan makanan yang dapat diperoleh di sekitar dengan cara sederhana.
    4. Seni Budaya, meliputi karawitan, tari dan membatik bertujuan  untu meningkatkan apresiasi terhadap seni budaya warisan daerah.

Selain mempunyai tujuan sendiri, bentuk kearifan lokal yang diterapkan mempunyai tujuan secara umum yaitu melestarika warisan budaya agar tidak punah, serta membekali anak-anak (generasi muda) dengan wawasan kebangsaan dan wawasan kedaerahan.

 

  1. B.    Implementasi Kurikulum Berbasis Kearifan Lokal di SDN Jarakan Panggungharjo Sewon Bantul

Dalam mengimplementasikan kurikulum berbasis kearifan lokal SDN Jarakan Panggungharjo Sewon Bantul menyesuaikan dengan tiga standar nasional pendidikan yaitu standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Komponen tersebut sesuai dengan pendapat Hamalik (2001:23-30) yang meliputi tujuan, komponen materi kurikulum, komponen metode, organisasi kurikulum dan evaluasi. Kesemua komponen tersebut sudah kerangkum dalam standar isi, standar proses, dan stnadar penilaian.

  1. Standar Isi, menunjukkan bahwa pembagian muatan keraifan lokal yang diterapkan yaitu 25% diintegrasikan dalam pembelajara dan sisanya 75% dilakukan pada kegiatan ekstrakurkuler yang kesemuanya diikuti oleh peserta didik SDN Jarakan dan sangat dianjurkan bagi guru untuk materi ekstrakurikuler membatik dan sesuai dengan jadwal yang telah dibuat oleh sekolah. Disamping pembagian komposisi ada juga komponen yang lain seperti sasaran dari bentuk kearifan lokal yang diterapkan dan waktu pelaksanaan masing-masing bentuk kearifan lokal. Ketiga komponen tersebut sesuai dengan lingkup standar isi menurut Peraturan Menteri (Permen) Nomor 22 Tahun 2006 bahwa standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, dan kalender pendidikan/akademik (sdm.data.kemdikbud.go.id). Masing-masing kearifan lokal yang diterapkan di SDN Jarakan mempunyai sasaran yang berbeda. Kearifan lokal dalam intrakurikuler wajib ditempuh oleh seluruh peserta didik di SDN Jarakan, sedangkan kearifan lokal dalam ekstrakurikuler diikuti oleh peserta didik yang berbeda. Seperti karawitan hanya diikuti kelas III, IV, dan V; tari diikuti kelas I-V; dan kerajinan batik diikuti kelas IV-VI dan guru, karena guru juga harus bisa membuat batik mengingat ada kearifan lokal wajib yaitu pendidikan batik. Sedangkan waktu pelaksanaan disesuaikan dengan mengikuti jadwal kurikulum nasional utnuk yang terintegrasi dalam mata pelajaran. Sedangkan yang terangkum dalam kegiatan ektrakurikuler dilakukan setelah jam pulang sekolah setiap minggunya. Berikut lebih jelasnya, (1) Karawitan dilaksanakan hari Kamis pukul 13.00-15.00 WIB dan Jumat pukul 09.40-11.30, (2) Tari dilaksanakan hari Sabtu pukul 10.15-12.00, (3) Membatik dilaksanakan hari Rabu pukul 13.00-15.00.
  2. Standar Proses, meliputi 3 tahap yaitu perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. Hali ini juga sesuai dengan Permen (Peraturan Menteri) Nomor 41 Tahun 20007 tentang Standar Proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah (sdm.data.kemdikbud.go.id).
    1. Perencanaan pembelajaran, menunjukkan bahwa guru terlibat dalam menentukan bentuk kearifan lokal yang akan diterapkan kemudian sekolah mengadakan rapat guna menyusun perencanaan pembelajaran melalui prota, promes, silabus, dan RPP untuk pedoman pembelajaran di kelas. Rapat penyusunan RPP biasanya dilakukan oleh guru perjenjang kelas. Perencanaan pembelajaran yang dituangkan dalam  program berkala dilakukan dengan menyusun RPP dan silabus dengan menyisipkan kearifan lokal dalam kompetensi inti dan indikator.
    2. Pelaksanaan pembelajaran, menunjukkan bahwa di SDN Jarakan menerapkan kearifan lokal melalui kegiatan pendahuluan berupa menyanyikan lagu nasional atau lagu wajib, pada kegiatan inti guru menyisipkan materi kearifan lokal dalam materi yang sedang diajarkan jika materi tersebut dapat diintegrasikan, sedangkan pada kegiatan penutup diisi dengan menyanyikan lagu daerah, lagu tradisional, tembang macapat sebelum pulang sekolah. Selain itu implementasi kurikulum kearifan lokal juga dilakukan melalui kegiatan sehari-hari oleh warga sekolah di sekolah.
    3. Penilaian pembelajaran, menunjukkan bahwa penilaian pembelajaran dilakukan dengan menyesuaikan dengan mata pelajaran yang diikuti peserta didik untuk kompetensi pengetahuan, untuk kompetensi sikap penilaian dilakukan melalui kegiatan keseharian peserta didik. Dalam implementasi kearifan lokal di SDN Jarakan penilaian yang dilakukan dengan dahulu menentukan standar kriteria ketuntasan minimal (KKM). Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti SDN Jarakan menentukam KKM sesuai dengan 4-KI (spiritual, sosial, pengetahuan, dan ketrampilan). Sedangkan untuk langkah-langkah penilaian (kuantitatif) capaian kompetensi peserta didik dalam satu semester adalah (1) Menghitung nilai penilaian harian (2) Menghitung nilai penilaian tengah semester (3) Menghitung nilai penilaian akhir semester (4) Menghitung nilai pengetahuan (5) Menghitung nilai rapor untuk pengetahuan.
    4. Standar Penilaian, menunjukkan bahwa penilaian implementasi kurikulum berbasis kearifan lokal dilakukan oleh dinas ke sekolah, sekolah ke pendidik, dan pendidik ke peserta didik. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 20 Tahun 2007 bahwa standar penilaian satuan pendidikan dasar dan menengah terdiri atas penilaian hasil belajar oleh pendidik, penilain hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Penilaian pembelajaran oleh guru dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk UH (Ulangan Harian), UTS (Ulangan Tengah Semester), UAS (Ulangan Akhir Semester). Hal yang sama juga dilakukan oleh guru pembina ekstrakurikuler yang kemudian nilai disetorkan setiap semester untuk digunakan sebagai laporan belajar di rapor. Penilaian yang dilakukan oleh sekolah dengan melihat prestasi hasil lomba, hal ini menurut peneliti masih kurang akurat mengingat sekolah mempunyai tujuan-tujuan strategis dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Sedangkan Penilaian dari dinas pendidikan setempat dilakukan dengan melakukan pengawasan dan ada bukti penilaian berupa format pengawasan yang harus diisi. Sesekali pengawas masuk dalam pembelajaran di kelas guna memantau secara langsung proses pembelajaran apakah sudah menyisipkan keraifan lokal atau belum, serta memberi masukan ketika dibutuhkan. Kunjungan penilaian ini dilakukan setiap semester sekali atau setahun dua kali.
  3. C.    Peluang Dan Tantangan Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kearifan Lokal Di SDN Jarakan Panggungharjo Sewon Bantul

Peluang dan hambatan dalam mengimplementasikan kurikulum di SDN Jarakan dilakukan dengan melihat kondisi setiap elemen mulai dari peserta didik, guru, sarana rasarana, jalinan kerjasama dan pembiayaaan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Asmani (2012:131) bahwa pendidikan berbasis kearifan lokal belum banyak diimplemenatasikan dengan sukses di lembaga pendidkan karena ada beberapa kendala, diantaranya minimnya sosialisasi, lemahnya kepemimpinan, kekurangan SDM, kurangnya antusiasme siswa, serta minimnya anggaran.

Peluang yang dihadapi SDN Jarakan dalam mengimplementasikan kurikulum berbasis kearifan lokal yaitu:

  1. nama baik SDN Jarakan dibidang seni budaya sudah ada sejak lama, sebelum vakum.
  2. antusiasme siswa dalam mengikuti keraifan lokal jenis seni budaya yang dapat membuahkan prestasi setiap tahunnya.

Sedangkan hambatan yang dihadapi SDN Jarakan dalam mengimplementasikan kurikulum berbasis kearifan lokalyaitu:

  1. peserta didik sulit diajak untuk melestarikan permainan tradisional, makanan tradisional, serta berbahasa jawa yang baik dan benar
  2. orang tua yang tidak mendukung telaksananya program kearifan lokal di sekolah, mengingat biaya yyang tidak sedikt.
  3. peran orangtua dalam pengasuhan dirumah kurang maksimal, misal penggunaan bahasa, sudah seringkali menggunakan bahasa indonesia dan anak tidak dapat berbahasa jawa.
  4. kendala guru yang mengajar tidak semuanya menguasai dengan kearifan lokal Yogyakarta
  5. sarana dan prasarana yang sudah rusak bahkan tidak memenuhi standar pemakaian
  6. kurang kerjasama dengan pihak lain, selma ini sekolah hanya bekerjasama dengan POT
  7. anggaran yang tentunya tidak sedikit, untuk memenuhi insentif guru dan pembelian sarana
  8. jalinan komunikasi antara sekolah sebagai penyelenggara dan POT sebagai pengawal semua kegiatan ekstrakurikuler.

SIMPULAN DAN SARAN

  1. A.    Simpulan

Berdasar pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah peneliti uraikan, berikut beberapa simpulan:

  1. Dalam implementasi kurikulum berbasis kearifan lokal di SDN Jarakan Panggungharjo Sewon Bantul, disesuaikan dengan kondisi sarana yang dimiliki sekolah, kompetisi yang diadakan pemerintah/dinas setempat, dan intruksi dari pemerintah kabupaten Bantul. Terdapat 4 (empat) bentuk kearifan lokal yang diterapkan dan masing-masing bentuk mempunyai tujuan, diantaranya: (a) Bertanam TOGA (Tanaman Obat Keluarga), bertujuan agar peserta didik mengenal berbagai TOGA dan dapat memanfaatkan TOGA dalam kehidupan sehari-hari, (b) Pendidikan Bahasa Jawa, bertujuan agar peserta didik dapat berbahasa jawa sesuai dengan unggah ungguhnya, (c) Budaya Jawa meliputi permainan tradisional bertujuan agar anak mampu mengenal dan melakukan berbagai permainan tradisional, seperti egrang, dakon, tempat ingkling, theklek panjang, lagu daerah atau tembang dolanan anak bertujuan agar anak mampu mengenal dan menyanyikan tembang macapat, lagu daerah, serta lagu dolanan anakdengan baik, dan kuliner tradisional bertujuan agar anak dapat memanfaatkan bahan-bahan makanan yang dapat diperoleh di sekitar dengan cara sederhana, (d) Seni Budaya meliputi karawitan, tari dan membatik bertujuan untuk meningkatkan apresiasi terhadap seni budaya warisan daerah. Selain mempunyai tujuan khusus kearifan lokal yang diterapkan di SDN Jarakan Panggungharjo Sewon Bantul juga mempunyai tujuan secara umum, yaitu untuk melestarikan budaya lokal daerah serta membekali peserta didik dengan karakter yang luhur sesuai dengan kearifan daerahnya. 
  2. Implementasi kurikulum berbasis kearifan lokal di SDN Jarakan Panggungharjo Sewon Bantul direalisasikan dalam 3 standar pendidikan yaitu standar isi, standar proses, dan standar penilaian.  
  3. Standar Isi, mecakup lingkup materi dan tingkat kompetensi, materi kearifan lokal yang dibebankan pada peserta didik meliputi 25% masuk dalam ekstrakurikuler yang cenderung pelaksanaan pembelajaran secara praktek, dan 75% masuk dalam intrakurikuler (disisipkan dalam mata pelajaran yang lain, kecuali batik dan bahasa dan budaya jawa). Seluruh materi kearifan lokal yang diterapkan ditujukan untuk peserta didik, dan guru dianjurkan untuk mengikuti materi batik dalam ekstrakurikuler. Sedangkan waktu pelaksanaan kearifan lokal mengikuti mata pelajaran sekolah untuk yang intrakurikuler, dan ketika pulang sekolah untuk ekstrakurikuler yang masing-masing ekstrakurikuler dilaksanakan sehari dalam seminggu, kecuali karawitan yaitu 2 hari (kamis dan jumat).  
  4. Standar Proses sangat berkaitan dengan rangkaian pelaksanaan pembelajaran meliputi:

1)    perencanaan pembelajaran

Materi kearifan lokal dirumuskan dengan mengintegrasikan ke KD (kompetensi dasar), KI (kompetensi inti), serta indikator di setiap mata pelajaran. Penyusunan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan silabus disesuaikan dengan kurikulum nasional yaitu kurikulum 2013 (kelas I dan IV) dan KTSP (kelas II, III, V, dan VI). Sedangkan untuk kegiatan ekstrakurikuler pedoman pembelajaran tetap disusun dari pihak sekolah.

2)    pelaksanaan pembelajaran mencakup pendahuluan, inti dan penutup. Masing-masing kegiatan tersebut memuat materi kearifan lokal, jika materi kearifan lokal dapat disisipkan ke dalam mata pelajaran, karena tidak semuanya dapat disisipkan dalam mata pelajaran.

3)    penilaian pembelajaran, dilakukan melalui langkah-langkah yaitu menghitung nilai harian, menghitung nilai tengah semester, menghitung nilai akhir semester, menghitung nilai pengetahuan, dan menghitung nilai rapor untuk pengetahuan.

  1. Standar Penilaian berkaitan dengan prosedur penilaian hasil belajara peserta didik. Di SDN Jarakan penilaian dilakukan oeh Dinas setempat kepada sekolah/guru melalui pengawasan pembelajaran, sekolah kepada guru melalui pengawasan dan motivasi serta pestasi lomba, dan penilaian oleh guru kepada peserta didik melalui UH (Ulangan Harian), UTS (Ulangan Tengah Semester), dan UAS (Ulangan Akhir Semester), serta nilai rapor untuk kompetensi pengetahuan. 
    1. Terdapat beberapa peluang dan hambatan yang dihadapi SDN Jarakan dalam menimplementasikan kurikulum kearifan lokal, diantaranya:
    2. Peluang

1)    Nama baik SDN Jarakan dibidang seni budaya sudah sejak lama sebelum SDN Jaakan mengalami penurunan prestasi

2)    Antusiasme siswa dalam mengikuti kegiatan kearifan lokla jenis seni budaya yang dapat membuahkan prestasi setiap tahunnya

3)    Daerah Yogyakarta selalu mengadakan kompetisi dan penampilan hasil kearifan lokal Yogyakarta.

  1. Hambatan

1)    Peserta didik sulit diajak untuk melestarikan permainan tradisional, kuliner tradisional, serta berbahasa jawa yang baik dan benar.

2)    Oran tua yang tidak mendukung terlaksananya program kearifan lokal di sekolah, mengingat biaya yang dikeluarkan tidak sedikit

3)    Peran orang tua dalam pengasuhan anak di rumah kurang maksimal, misal dalam penggunaan bahasa jawa yang baik

4)    Guru yang mengajar tidak semuanya menguasai dengan kearifan lokal di Yogyakarta

5)    Sarana dan prasarana yang sudah rusak bahkan tidak tidak memenuhi standar pemakaian

6)    Sekolah kurang melakukan kerjasama dengan pihak lain, sekolah hanya bekerjasama dengan POT (Paguyuban Orang Tua)

7)    Hambatan juga terdapat pada anggaran yang diperlukan tidak sedikit

8)    Jalinan komunikasi antar sekolah sebagai penyelenggara dan POT sebagai pengawal semua kegiatan ekstrakurikuler.

  1. B.    Saran

Berdasar pada kesimpulan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, peneliti turut serta memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan pertimbangan oleh seluruh stakeholder di SDN Jarakan Panggurharjo Sewon Bantul maupun pihak yang terkait dalam penelitian ini. Berikut saran-saran:

  1. Cara memilah bentuk kearifan lokal yang akan diterapkan sebaiknya tidak hanya menjalankan intruksi pemerintah saja, memanfaatkan sarana yang ada bahkan untuk selalu mengikuti ajang kompetisi, namun didasarkan pada keunggulan lokal daerah setempat agar hasil dari kearifan lokal/keunggulan lokal dapat meningkatkan potensi lokal yang cukup beragam, lebih spesifik lagi untuk meningkatkan pendapatan daerah (keunggulan kompetitif).
  2. Untuk melestarikan permainan tradisional, sebaiknya dari pihak sekolah memasukkan permainan tradisional dalam materi di setiap ulangan peserta didik, agar senantiasa peserta didik memainkan kegiatan tersebut. Untuk melestarikan kuliner tradisional sebaiknya guru yang mendampingi materi boga memberikan pengetahuan bahwa bahan-bahan dasar tradisional (ketela, kentang, gembili, dan lainnya) dapat dibuat menjadi makanan yang sangat enak, seperti menjadi kripik dengan bumbu balado, sapi panggang, dan cita rasa lainnya. Agar peserta didik tertarik untuk mengkonsumsi juga tidak berkesan makanan dengan resep-resep itu saja. Hal ini dmkasudkan agar bahan-bahan tradisional tetap terkonsumsi.
  3. Sekolah menjalin kerjasama dengan pihak lain selain dengan POT (Paguyuban Orang Tua). Hal ini dimaksudkan meringankan beban biaya yang ditanggung oleh POT, sehingga beberapa hambatan dapat teratasi. Karena banyak hambatan yang dihadapi sangat berkaitan dengan kondisi pembiayaan.
  4. Perlu adanya kegiatan parenting yang diselenggarakan POT dan sekolah untuk membekali orang tua peserta didik bagaimana cara mendidik anak yang baik, tidak memasrahkan pendidikan begitu saja dengan sekolah, lebih meningatkan kontrol di rumah yang tentunya selaras dengan yang diajarkan di sekolah, seperti membiasakan berbahasa jawa yang baik, berkomunikasi yang disertai dengan unggah ungguh yang baik. Karena penanaman kearifan lokal pada diri peserta didik banyak melalui pembiasaan.
  5. Karena guru memegang peranan penting dalam pembelajaran, maka sebaiknya guru yang belum paham mengenai kearifan lokal setempat diwajibkan untuk mengikuti latihan secara berkesinambungan, tidak  hanya sekadar anjuran.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, I. K., dkk. 2012. Mengembangkan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dalam KTSP. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya.

Asmani, J. M. 2012. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Yogyakarta: DIVA Press.

Dewantara, K. H. 2009. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika.

Hamalik, O. 2011. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya

Ichwal, H. 2011. Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta: Arruz Media.

Koentjaraningrat. 2011. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Musanna, A. 2014. Model Kurikulum Kearifan Lokal dalam Pendidikan Guru (Studi Desain dan Implementasi Kurikulum Budaya dan Literatur Gayo Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon). Bandung: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Pidarta, M. 2009. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Roesminingsih, M.V. & Susarno, L. H. 2014. Teori dan Praktek Pendidikan. Surabaya: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya.

Standar Nasional Pendidikan. [Online]. Tersedia di sdm.data.kemdikbud.go.id. Diakses pada 19 Desember 2016 pukul 08:30

Tilaar, H.A. 2011. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Wagiran. 2011. Pengembangan Model Pendidikan Kearifan Lokal dalam Mendukung Visi Pembagunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2020 (Tahun Kedua). Jurnal Penelitian dan Pengembangan. Vol. III Nomor 3.

 

 

 

 


 

Downloads

Download data is not yet available.

Downloads

Published

2017-07-31
Abstract views: 1258 , PDF Downloads: 403