• INTERAKSI VOLUME 1 NOMER 1 2013
    Vol 1 No 01 (2013)

    PENGARUH  MODEL PEMBELAJARAN

    BERBASIS MASALAH SOSIAL, PEMBELAJARAN LANGSUNG

    DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP PENINGKATAN

    BERPIKIR KRITIS DAN KEPEDULIAN SOSIAL SISWA

    Abd. Mu’in

    Pembimbing: I. Prof.Dr. Aminuddin Kasdi, M.S, II. Prof. Dr. Nyoman Retig Adnyana, M.Si


    Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran berbasis masalah sosial, pembelajaran langsung terhadap peningkatan berpikir kritis dan kepedulian sosial siswa dengan motivasi belajar sebagai variabel moderator. Sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah. Metode yang digunakan adalah eksperimen dengan desain faktorian 2X2. Untuk menguji hipotesis digunakan analisis varians (ANAVA) dua jalur dengan menggunakan bantuan program SPSS 17,0 for windows.

    Hasil penelitian menunjukkan: (i) ada perbedaan kemampuan berpikir kritis dan sikap kepedulian sosial siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah sosial   dengan  model  pembelajaran  langsung, ini  dibuktikan dengan angka signifikansi  ˂ 0,05,  (ii) ada perbedaan kemampuan berpikir kritis dan sikap kepedulian sosial siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan motivasi belajar rendah, ini dibuktikan  dengan angka  signifikansi ˂ 0,05, (iii)  ada interaksi antara model pembelajaran dan motivasi belajar siswa terhadap kemampuan berpikir kritis dan sikap kepedulian sosial, ini dibuktikan dengan angka signifikansi ˂ 0,05. Jadi ada pengaruh yang signifikan antara model pembelajaran berbasis masalah sosial  dengan kemampuan berpikir kritis dan kepedulian sosial siswa. Model pembelajaran berbasis masalah sosial sangat relevan diterapkan pada kelompok siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi dan kurang relevan untuk kelompok siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah.

     

    Kata-kata Kunci: Model pembelajaran berbasis masalah sosial, pembelajaran langsung, motivasi belajar, berpikir kritis, kepedulian sosial.

    PENDAHULUAN

    Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan bangsa yang cerdas, damai, terbuka dan demokratis. Oleh karena itu pembaharuan pendidikan harus selalu dilakukan secara kontinu untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Upaya peningkatan mutu pendidikan itu diharapkan dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Untuk mencapai itu pendidikan harus bersifat adaptif terhadap perkembangan zaman.

    Dalam konteks perubahan pendidikan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) pembaharuan kurukulum, (2) peningkatan kualitas pembelajaran dan, (3) keefektifan metode pembelajaran. Kurukulum pendidikan harus komprehensif dan responsive terhadap dinamika sosial, tidak overload dan mampu mengakomodasikan keberagaman dan kemajuan teknologi. Secara mikro harus ditemukan strategi dan model pembelajaran yang efektif dan lebih memberdayakan potensi siswa.

    Atas dasar pemikiran diatas,  pengembangan model pembelajaran berbasis masalah sosial (MPBMS) dalam pembelajaran IPS merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Pembelajaran berbasis masalah sosial (social problem based learning) merupakan salah satu model pembelajaran yang paling sesuai untuk pembelajaran IPS di SMP/MTs, karena dapat membantu siswa untuk dapat berpikir kritis, kreatif dan menumbuhkan kepedulian sosial sesuai dengan tujuan pembelajaran IPS. Ditinjau dari segi ilmu pengetahuan khususnya mengenai prinsip-prinsip penelitian ilmiah, pembelajaran berbasis masalah sosial sangat sesuai untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah sosial  melalui langkah-langkah yang sistematis dan logis yang menekankan pada pengalaman siswa secara nyata melalui langkah-langkah dan prosedur pemecahan masalah yang ilmiah (Isjoni, 2007: 101).

    Pembelajaran berbasis masalah social (social problem based learning) dikembangkan dari pemikiran nilai-nilai demokrasi, belajar efektif, perilaku kerjasama dan menghargai keanekaragaman pendapat. Dalam  pembelajaran ini guru harus mampu menciptakan lingkungan belajar sebagai suatu sistem sosial yang memiliki ciri proses demokrasi dan proses ilmiah. Oleh karena itu,  pembelajaran berbasis masalah sosial merupakan jawaban terhadap praktik pembelajaran kompetensi serta merespon perkembangan dinamika sosial masyarakat.  Selain itu pembelajaran berbasis masalah sosial pada dasarnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari pembelajaran kelompok.  Dengan demikian, pembelajaran berbasis masalah sosial dalam pembelajaran IPS memiliki karakteristik yang khas yaitu menggunakan masalah sosial yang terjadi dalam dunia nyata sebagai konteks belajar bagi siswa untuk mengembangkan dan meningkatkan pola berpikir kritis, kepedulian sosial, dan keterampilan memecahkan masalah sosial, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep esensial dari materi pembelajaran IPS.

    Upaya peningkatan berpikir kritis dan kepedulian sosial dalam pembelajaran IPS di abad ke-21 ini sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan zaman yang makin mengglobal.  Dewey (1916: 89) berpendapat bahwa keterampilan berpikir kritis diperlukan setiap orang untuk berhasil dalam kehidupannya. Sekolah seharusnya mengajarkan dan memberdayakan keterampilan berpikir kritis  siswa, karena dengan memberdayakan keterampilan berpikir kritis diyakini berpotensi besar memberdayakan manusia (Corebima, 2010: 35). Kemampuan berpikir kritis terbukti meningkatkan kemampuan menganalisis problem dan kemampuan inkuiri (Ahren-Rindell, 1999: 65).  Dan yang lebih penting kemampuan berpikir kritis ini akan melahirkan sikap kepedulian social siswa yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari sebagai mahluk sosial.

    Ada beberapa alasan perlunya membentuk budaya berpikir kritis dalam  pembelajaran IPS di sekolah. Salah satunya adalah untuk menghadapi perubahan dunia yang begitu pesat yang selalu muncul pengetahuan baru tiap harinya, sementara pengetahuan yang lama ditata dan dijelaskan ulang.  Di zaman perubahan yang pesat ini, prioritas utama dari sebuah sistem pendidikan adalah mendidik anak-anak tentang bagaimana cara belajar dan berpikir kritis (Shukor, 2001:  45).

    Wilson (2000: 44) mengemukakan beberapa alasan tentang perlunya keterampilan berpikir kritis, yaitu:  (1) pengetahuan yang didasarkan pada hafalan telah didiskreditkan,  individu tidak akan dapat menyimpan ilmu pengetahuan dalam ingatan mereka untuk penggunaan yang akan datang, (2) informasi menyebar luas begitu pesat sehingga tiap individu membutuhkan kemampuan yang dapat disalurkan agar mereka dapat mengenali macam-macam permasalahan dalam konteks yang berbeda pada waktu yang berbeda pula selama hidup mereka, (3) kompleksitas pekerjaan modern menuntut adanya staf pemikir yang mampu menunjukkan pemahaman dan membuat keputusan dalam dunia kerja,
    (4) masyarakat modern membutuhkan individu-individu untuk menggabungkan informasi yang berasal dari berbagai sumber dan membuat keputusan.

    Memperhatikan paparan di atas, maka di sini  perlu dibahas “Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Sosial, Pembelajaran Langsung dan Motivasi Belajar Terhadap Peningkatan Berpikir Kritis dan Kepedulian Sosial Siswa”. Tempat penelitian di SMP Negeri 1 Trowulan,  kabupaten Mojokerto,  tahun pelajaran 2011-2012, yang merupakan studi eksperimen dengan menggunakan desain factorial 2 X 2. Dalam penelitian ini disamping variabel bebas pembelajaran berbasis masalah sosial dan pembelajaran langsung juga  terdapat variabel moderator yaitu motivasi belajar siswa.  Secara rinci rumusan masalah dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut.

    1.      Apakah ada perbedaan kompetensi siswa (berpikir kritis dan kepedulian sosial) yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah sosial dengen model pembelajaran langsung?

    2.      Apakah ada perbedaan kompetensi siswa (berpikir kritis dan kepedulian sosial)  yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah?

    3.      Apakah ada interaksi antara model pembelajaran  dan motivasi  belajar siswa terhadap kompetensi siswa (berpikir kritis dan kepedulian sosial)?

     

    KAJIAN PUSTAKA

    Model Pembelajaran

    Model pembelajaran menurut Joyce dan Weil (1980: 87) adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer,  kurikulum dan lain-lain.

    Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada strastegi, metode atau prosedur. Arend (1997: 89) menyatakan bahwa model pembelajaran mengacu pada pendekatan pengajaran yang termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap kegiatan pembelajaran, lingkungan pe-ngajaran dan pengelolaan kelas.

    Oleh karena itu, dari beberapa model pembelajaran yang ada perlu kiranya diseleksi model pembelajaran yang mana yang paling baik untuk mengajarkan suatu materi tertentu.  Dalam mengajarkan suatu pokok bahasan (materi) tertentu harus dipilih model pembelajaran yang paling sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itu, dalam memilih suatu model pembelajaran harus memiliki beberapa pertimbangan, yaitu antara lain adalah materi pelajaran, tingkat perkembangan kognitif siswa, dan sarana prasarana atau fasilitas yang tersedia, sehingga tujuan pengajaran yang telah ditetapkan dapat  tercapai.

    Model Pembelajaran Berbasis Masalah Sosial (MPBMS)

    Model pembelajaran berbasis masalah social (MPBMS) adalah model pembelajaran yang menggunakan masalah sosial yang ada di lingkungan siswa secara nyata sebagai konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir,  keterampilan memecahan masalah, dan keterampilan menganalisis masalah, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi pembelajar yang mandiri. Adapun langkah-langkahnya terdiri dari  5 tahap yaitu: (1) orientasi siswa pada masalah sosial, (2) mengorganisasi siswa untuk belajar, (3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok terhadap masalah sosial, (4) mengembangkan penyajian atau presentasi hasil karya, (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah sosial.

    Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)

    Pembelajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan procedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah (Arends,  1997).

    Ciri-ciri model pembelajaran langsung (dalam Kardi &Nur, 2000:  264) adalah sebagai berikut: (a) adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk prosedur penilaian belajar, (b) sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran, (c) sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar kegiatan pembelajaran dapat berlangsung dengan berhasil.

    Motivasi Belajar

    Motivasi  merupakan  salah  satu  faktor  yang  turut  menentukan efektif  tidaknya  proses  belajar  mengajar.  Motivasi  berasal  dari  kata motif  yang   artinya  daya  upaya  yang  mendorong  seseorang  untuk melakukan  sesuatu.   Maka  motivasi  dapat  diartikan  sebagai  daya penggerak yang telah menjadi aktif (Sardiman, 2009: 73). Motif akan menjadi aktif terutama bila  kebutuhan  untuk  mencapai tujuan sangat dirasakan atau mendesak.

    Menurut Syaiful Bahri Djamarah (Psikologi Belajar, 2008: 152), motivasi adalah gejala psikologis dalam bentuk dorongan yang timbul pada  diri  seseorang  sadar  atau  tidak  sadar  untuk  melakukan  suatu tindakan  dengan  tujuan  tertentu.  Motivasi  bisa  juga  dalam  bentuk usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.

    Berpikir Kritis

    Berpikir kritis adalah kemampuan siswa untuk menyelesaikan suatu masalah yang tercermin melalui kemampuan bertanya, berpendapat, memberi argumen, merumuskan masalah, melakukan deduksi, melakukan induksi, menganalisis masalah, melakukan evaluasi, memutuskan dan melaksanakan.

    Menurut Nurhadi dan kawan-kawan (2004: 74) siswa yang berpikiran kritis akan memperhatikan pikiran-pikiran dan proses sebagai berikut.

    a.  Mengajukan pertanyaan seperti “Bagaimana  itu  kita tahu?  atau  “Apa  bukti-

    nya?”.

    b.  Mengetahui perbedaan anatara observasi dan simpulan.

    c.  Mengetahui  bahwa  semua  gagasan ilmiah  itu dapat berubah dan bahwa teori

    yang ada adalah teori yang terbaik berdasarkan bukti yang kita miliki.

    d.  Mengetahui  bahwa  diperlukan  bukti-bukti  yang  cukup  untuk menarik suatu

    kesimpulan.

    e.  Memeberikan penjelasan serta melakukan observasi dan atau prediksi.

    f.  Selalu  mencari  konsistensi  terhadap   simpulan-simpulan   yang  diambil  dan

    memberikan penjelasan  dengan percaya diri.

    Kepedulian Sosial

    Kepedulian sosial adalah perasaan dan sikap bertanggung jawab atas kesulitan yang dihadapi  oleh diri sendiri dan   orang  lain  di mana seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Adapun yang menjadi ukuran adalah kepedulian siswa terhadap diri sendiri, terhadap teman dan terhadap lingkungan sekitar.

    Masalah Sosial/Isu Sosial

    Yang termasuk masalah sosial adalah masalah-masalah sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitar sekolah atau sekitar lingkungan siswa, yang sesuai dengan setandar kompetensi dan kompetensi dasar. Maslah itu antara lain:          (1) pengangguran,  (2) sempitnya lapangan pekerjaan, (3) anak putus sekolah,   (4)  rendahnya kualitas tenaga kerja, (5) pertumbuhan penduduk yang tinggi dan,   (6)  maraknya perjudian di masyarakat.

    Teori yang dipakai untuk menganalisis penerapan model pembelajaran berbasis masalah sosial  adalah teori konstruktivisme yang meliputi teori-teori sebagai berikut.

    Teori Piaget

    Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Piaget yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memeperjelas pemikiran yang pada akhirnya membuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nur, 1998).

    Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka.  Menurut teori Piaget,  setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif sebagai berikut:  (1) sensori  motor ( usia 1-2 tahun),  (2) praoperasional (usia 2-7 tahun),  (3) operasional konkrit (7-11 tahun),    (4)  operasional formal (usia 11 tahun hingga dewasa).

    Teori Piaget tersebut relevan dengan pembelajaran berbasis masalah sosial, karena mengutamakan peran aktif siswa untuk menemukan konsep berdasarkan proses yang dilakukan siswa dengan caranya sendiri dalam menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru. Dengan demikian, teori Piaget terkait dengan fase-fase pembelajaran berdasarkan masalah.

    Teori Bruner

    Bruner mengemukakan bahwa perkembangan kognitif anak melalui tiga tahap, yaitu enaktif, ikonik dan simbolik. Masing-masing tahap tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut:

    a)  enaktif  pada tahap ini anak belajar dengan menggunakan objek-objek konkrit secara langsung, sehingga memungkinkan ia dapat melakukan manipulasi terhadap objek konkrit tersebut,

    b) ikonik, pada tahab ini anak belajar tidak lagi menggunakan objek konkrit, melainkan mulai dengan menggunakan gambar dari objek-objek konkrit tersebut,

    c) simbolik, pada tahap ini anak langsung belajar memanipulasi symbol-simbol yang tidak ada lagi kaitanya dengan objek-objek (Hudojo, 1988:  57).

    Teori Bruner tersebut relevan dengan pembelajaran berbasis masalah sosial karena di awal pembelajaran (fase ke-1) sangat dimungkinkan siswa memanipulasi objek-objek yang ada kaitanya dengan masalah yang diberikan guru. Siswa secara aktif membangun pengetahuanya melalui kegiatan penyelidikan (fase ke-3) yang menungkinkan siswa memanipulasi objek-objek konkrit dan/simbol-simbol.

    Teori Vigotsky

    Vigotsky (dalam Nur, 2004:  4) mengemukakan ada empat prinsip kunci dalam pembelajaran, yaitu sebagai berikut.

    a).  Penekanannya pada hakikat sosial dalam belajar

    b).  Zona perkembangan terdekat atau zone of proximal development (ZPD)

    c). Pemagangan kognitif atau cognitive apprenticeship

    d). Scaffolding atau mediated learning

    Menurut  pendapat  penulis, teori Vigotsky tersebut relevan dengan pembelajaran bebasis masalah sosial  yang menekankan perlunya interaksi terus menerus antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya, siswa dengan guru, dan siswa dengan kelengkapan belajarnya, sehingga  setiap siswa mendapatkan manfaat positif dari interaksi tersebut. Dengan demikian teori Vigotsky terkait dengan fase-fase pembelajaran berdasarkan masalah sosial.

    Adapun landasan teori yang dipergunakan untuk menganalisis motivasi belajar siswa adalah teori insting, fisiologis, dan psikoanalitis.

    Teori Insting

    Menurut teori ini tindakan setiap diri manusia diasumsikan seperti tingkah laku jenis binatang. Tindakan manusia itu dikatakan selalu berkait dengan insting atau pembawaan. Dalam memberikan respon terhadap adanya kebutuhan seolah-olah tanpa dipelajari. Tokoh teori ini adalah Mc. Dougall.

    Teori Fisiologis

    Menurut teori ini semua tindakan manusia berakar pada usaha memenuhi kepuasan dan kebutuhan organik atau kebutuhan untuk kepentingan fisik, seperti kebutuhan untuk makan, minum yang diperlukan untuk kepentingan tubuh seseorang. Dari teori ini muncullah perjuangan untuk mempertahankan hidup.

    Teori Psikoanalitik

    Teori ini hampir sama dengan teori insting, tetapi lebih ditekankan pada unsur kejiwaan yang ada pada diri manusia. Motif tindakan manusia karena adanya unsur pribadi manusia yaitu id dan ego. Tokoh teori ini adalah Sigmund Freud.

     

    METODE PENELITIAN

    Metode penelitian yang dipakai adalah metode ekspermen dengan desain faktorial  2 X 2. Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 1 Trowulan, kabupaten Mojokerto dengan menggunakan sampel kelas VIII, semester genap tahun pelajaran 2011-2012. Sampel dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan motivasi baelajar yaitu kelompok siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi sejumlah 20 siswa,  dan kelompok siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah sejumlah 20 siswa.

    Instrumen Penelitian

    Instrumen penelitian yang dikembangkan dalam penelitian terdiri dari lembar pengamatan keterlaksanaan pembelajaran, angket, dan soal tes kemampuan berpikir kritis siswa.

    1. Lembar Pengamatan Keterlaksanaan Pembelajaran.

    Lembar pengamatan ini digunaka untuk mengetahui keterlaksanaan RPP, menguji validitas dan reabilitas  RPP yang akan digunakan dalam penelitian.

    2. Angket Motivasi Melajar

    Angket ini berbentuk skala likert yang  digunakan untuk mengetahui  tingkat motivasi belajar siswa. Dalam penelitian ini siswa dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi dan siswa yang mempunyai belajar rendah.

    3. Angket Sikap Kepedulian sosial

    Angket ini berbentuk skala likert yang  digunakan untuk mengetahui kompetensi siswa setelah pembelajaran, apakah ada perbedaan  peningkatan kompetensi kepedulian sosial siswa setelah mengikuti model pembelajaran berbasis masalah sosial dan model pembelajaran langsung,

    4. Tes Kompetensi Berpikir Kritis

    Tes ini berbentuk soal uraian yang mengacu pada indikator berpikir kritis siswa, tes ini digunakan  untuk mengetahui perbedaan kompetensi berpikir kritis siswa setelah mengikuti dua model pembelajaran yang berbeda yaitu model pembelajaran berbasis masalah sosial dan model pembelajaran langsung.

    Teknik Analisis Data

    Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, maka analisis statistik yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial parametrik.  Analisis statistik deskriptif mendiskripsikan atau memberi gambaran data dalam bentuk tabel, grafik, frekuensi dan standar deviasi.  Sedang analisis statistik inferensial parametric untuk menguji hipotesis.  Teknik analisis data menggunakan analisis varian (anava) dua jalur kemudian data dianalisis menggunakan bantuan program SPPS 17,0  for windows

    PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

    A. Deskripsi Hasil Penelitian Eksperimen

    Analisis Kemampuan Berpikir Kritis dan Kepedulian Sosial Siswa

    Hasil belajar siswa yang berupa kemampuan berpikir kritis baik dalam kelompok  motivasi belajar tinggi maupun rendah pada penerapan model pembelajaran berbasis masalah sosial dan model pembelajaran langsung dapat dilihat pada tabel di bawah.

    Tabel Rata-rata  Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

    Kelompok

    Pre Tes

    Post Tes

    Kenaikan (%)

    MPBMS

    DI

    MPBMS

    DI

    MPBMS

    DI

    Motivasi Belajar Tinggi

    48,6

    53

    80

    70,4

    31,4

    17,4

    Motivasi Belajar Rendah

    37,2

    45,6

    50,1

    73,8

    12,9

    28,2

    Adapun hasil belajar siswa yang berupa sikap kepedulian sosial baik dalam kelompok siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi maupun kelompok siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah dapat dilihat pada tabel di bawah.

     

     

    Tabel Rata-rata Sikap Kepedulian Sosial Siswa

    Kelompok

    Pre Tes

    Post Tes

    Kenaikan (%)

    MPBMS

    DI

    MPBMS

    DI

    MPBMS

    DI

    Motivasi Belajar Tinggi

    87,7

    89

    96,3

    94

    8,6

    5,0

    Motivasi Belajar Rendah

    74,1

    75,6

    88

    80,9

    13,9

    5,3

     

    Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa  ada kenaikan pola berpikir kritis  yang signifikan pada kelompok  siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi setelah mengikuti  model pembelajaran berbasis masalah sosial (MPBMS) yaitu sebesar 31,4%  dibandingkan dengan setelah mengikuti model pembelajaran langsung (DI) yaitu sebesar 17,4%. Hal ini sesuai dengan pendapat Piaget yang mengatakan bahwa perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Sementara itu interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargunmentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya membuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nur, 1998).

    Senada dengan pendapat Piaget, teori Bruner juga relevan dengan pembelajaran berbasis masalah sosial karena diawal pembelajaran (fase ke-1) sangat dimungkinkan siswa memanipulasi objek-objek yang ada kaitanya dengan masalah yang diberikan guru. Siswa secara aktif membangun pengetahuanya melalui kegiatan penyelidikan (fase ke-3) yang menungkinkan siswa memanipulasi objek-objek konkrit dan/simbol-simbol. Vigotsky  juga menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam pengembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia. Menurut Vigotsky siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebayanya yang lebih mampu. Interaksi tersebut memacu terbentuknys ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual anak.

    Sebaliknya untuk kelompok  siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah ada kenaikan yang signifikan setelah mengikuti model pembelajaran langsung yaitu sebesar  28,2% dibandingkan dengan setelah mengikuti model pembelajaran berbasis masalah sosial yaitu sebesar  12,9%. Tetapi bukan berarti model pembelajaran berbasis masalah sosial tidak bisa diterapkan pada kelompok siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah, buktinya ada kenaikan sebesar 12, 9%  yang menurut peneliti  termasuk kategori tinggi.

    Dari hasil penelitian ini peneliti berkesimpulan bahwa setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing, tergantung pada situasi dan kondisi dimana model pembelajaran itu diterapkan juga tergantung pada materi yang termuat dalam SK dan KD yang akan diajarkan. Oleh karena itu seorang pendidik atau guru harus pandai-pandai memilih model pembelajaran yang relevan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi guru dan materi yang akan diajarkan. Dalam kasus ini model pembelajaran berbasis masalah sosial (MPBMS) sangat relevan diterapkan pada pembelajaran IPS pada kelompok siswa yang mempunyai motivasi belajar tinnggi. Sedangkan untuk kelompok siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah sangat relevan diterapkan model pembelajaran langsung (DI).

    Sedangkan hasil belajar  kompetensi  kepedulian sosial siswa seperti yang termuat dalam tabel di atas dapat disimpulkan bahwa prosentase kenaikan sikap kepedulian sosial siswa  setelah mengikuti model pembelajaran berbasis masalah sosial juga lebih tinggi dibandingkan dengan prosentaase kenaikan sikap kepedulian sosial siswa setelah mengikuti model pembelajaran langsung.

    B. Deskripsi  Hasil Pengujian Hipotesis

    Setelah dilakukan uji prasyarat analisis data yaitu uji normalitas dan homogenitas dan hasilnya menunjukkan data terdistribusi secara normal dan variansi yang bersifat homogen, maka baru bisa dilakukan uji ANOVA interaksi dua faktor.  Dasar pengujian hipotesis adalah jika probabilitas atau signifikansi ˃ 0, 05 maka Hₒ diterima.

    1. Pengujian Hipotesis Pertama

    a. Kompetensi Berpikir Kritis

    Hasil analisis uji ANOVA dengan menggunakan bantuan SPSS 17,0 for windows, kemampuan berpikir kritis siswa terhadap penerapan model pembelajaran dan motivasi belajar dapat ditunjukkan seperti Tabel 4.1 di bawah.

    Tabel 4.1

    Tests of Between-Subjects Effects

    Dependent Variable:Berpikir Kritis

    Source

    Type III Sum of Squares

    Df

    Mean Square

    F

    Sig.

    Corrected Model

    7811.438a

    3

    2603.813

    11.916

    .000

    Intercept

    361132.813

    1

    361132.813

    1652.707

    .000

    Motbel

    2194.513

    1

    2194.513

    10.043

    .002

    Model

    2796.612

    1

    2796.612

    12.799

    .001

    Motbel * Model

    2820.313

    1

    2820.313

    12.907

    .001

    Error

    16606.750

    76

    218.510

     

     

    Total

    385551.000

    80

     

     

     

    Corrected Total

    24418.187

    79

     

     

     

    a. R Squared = .320 (Adjusted R Squared = .293)

     

    Pengambilan Keputusan:

    Dari tabel di atas terlihat bahwa  F  hitung  12,799 ,  probabilitas (p)  0,001,  jika     p  ˂  0,05  maka  Hₒ  ditolak  yang berarti  Hₐ diterima.  Keputusanya: “Ada berbedaan kompetensi berpikir kritis  siswa  yang  mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah sosial (MPBMS) dengan model pembelajaran langsung (DI)”.

    Adanya  berbedaan  berpikir kritis  siswa  yang  mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah sosial (MPBMS) dengan model pembelajaran langsung (DI) antara lain disebabkan karena aktivitas pembelajaran pada MPBMS berbeda dengan DI. Pada MPBMS siswa diberi kesempatan  untuk mengeksplor kemampuannya, artinya pembelajaran berpusat pada siswa. Siswa diberi masalah yang berkaitan dengan masalah sosial nyata di lingkunganya untuk selanjutnya siswa dituntut untuk mengadakan pengamatan, wawancara,mengumpulkan data atau mencari berbagai literatur, berdiskusi, berargumentasi dan terakhir membuat pemecahan masalah. Dengan aktivitas siswa seperti itu memdorong siswa untuk berpikir secara kritis, sehingga ada pengaruh yang signifikan antara penerapan model pembelajaran berbasis masalah sosial (MPBMS) terhadap peningkatan berpikir kritis siswa. Sementara pada model pembelajaran langsung bersifat teacher centries artinya pembelajaran berpusat pada guru, siswa kurang bisa berkembang terutama dalam hal berpikir kritis.

    Kenyataan tersebut  sesuai dengan teorinya Piaget yang mengatakan  bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya membuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nur, 1998).  Pendapat Piaget di atas juga didukung oleh pendapatnya Vigotsky yang mengatakan bahwa  siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebayanya yang lebih mampu. Interaksi tersebut memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual anak.

    b. Kompetensi Kepedulian Sosial Siswa

    Hasil analisis uji ANOVA dengan menggunakan bantuan SPSS 17,0 for windows, kemampuan kepedulian sosial  siswa terhadap penerapan model pembelajaran dan motivasi belajar dapat ditunjukkan seperti Tabel 4.2  di bawah.

    Tabel 4.2

    Tests of Between-Subjects Effects

    Dependent Variable:Kepedulian Sosial

    Source

    Type III Sum of Squares

    Df

    Mean Square

    F

    Sig.

    Corrected Model

    2856.250a

    3

    952.083

    8.844

    .000

    Intercept

    644764.050

    1

    644764.050

    5989.228

    .000

    Motbel

    2289.800

    1

    2289.800

    21.270

    .000

    Model

    451.250

    1

    451.250

    4.192

    .044

    Motbel * Model

    115.200

    1

    115.200

    12.070

    .000

    Error

    8181.700

    76

    107.654

     

     

    Total

    655802.000

    80

     

     

     

    Corrected Total

    11037.950

    79

     

     

     

    a. R Squared = .259 (Adjusted R Squared = .230)

     

    Pengambilan Keputusan:

    Dari tabel diatas terlihat bahwa  F  hitung  4,192  probabilitas (p)  0,044.  Jika p  ˂  0,05, maka  Hₒ  ditolak  yang berarti  Hₐ diterima.  Keputusanya: “Ada perbedaan kompetensi kepedulian sosial  siswa  yang  mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah sosial (MPBMS) dengan model pembelajaran langsung (DI)”.

    Adanya perbedaan kepedulian sosial siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah  sosial (MPBMS) dengan model pembelajaran langsung (DI) antara lain  karena dalam MPBMS siswa  mengadakan pengamatan langsung di masyarakat, mengetahui secara autentik masalah sosial yang terjadi di masyarakat sehingga  siswa dapat menghayati dan merasakan sendiri masalah sosial yang ada,  yang pada akhirnya mampu melahirkan  sikap kepedulian sosial siswa yang tinggi.

    Berdasarkan teori psikologi  sikap kepedulian sosial  bukan suatu pembawaan, melainkan  hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya sehingga sikap kepedulian sosial bersifat dinamis dapat berubah karena kondisi dan pengaruh yang  diberikan. Selanjutnya menurut  Dayakisni  &  Hudaniah  (2006: 117) dikatakan sikap kepedulian sosial dapat dinyatakan sebagai hasil belajar sehingga tidak terbentuk dengan sendirinya karena pembentukan sikap kepedulian sosial senantiasa akan berlangsung dalam interaksi manusia berkenaan dengan objek. Pendapat ini relevan dengan pendapatnya John Dewey yang mengfungsikan masyarakat sebagai laboratorium pembelajaran.

     

    2. Pengujian Hipotesis Kedua

    a.  Kompetensi Berpikir Kritis

    Berdasarkan Tabel 4.1 di atas terlihat bahwa  F  hitung  10,043 dengan probabilitas (p) 0,002. Jika  p ˂ 0,05, maka  Hₒ  ditolak  yang berarti  Hₐ diterima. Keputusanya: “Ada perbedaan berpikir kritis  siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah”.  Dengan kata lain  ada pengaruh yang signifikan antara kemampuan berpikir kritis dengan motivasi belajar yang tinggi. Semakin tinggi motivasi belajar siswa, maka semakin kritis daya pikirnya. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Syaiful Bahri Djamarah (Psikologi Belajar, 2008: 152), yang mengatakan  motivasi belajar  yang tinggi  mampu menjadikan seseorang , kreatif dan kritis dalam menghadapi masalah.

    Ada beberapa hal yang menyebabkan motivasi belajar dapat meningkatkan prestasi belajar siswa karena hal-hal sebagai berikut.

    1.      Motivasi  dapat mendorong manusia untuk berbuat,  dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.

    2.      Motivasi dapat menuntun arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai, dengan demikian motivasi dapat memberi arah, dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.

    3.      Motivasi dapat menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

    b. Kompetensi Kepedulian Sosial Siswa

    Berdasarkan Tabel 4.2 di atas terlihat bahwa  F  hitung  21,270 dengan probabilitas (p)  0,000.  Jika  p ˂  0,05  maka  Hₒ  ditolak  yang berarti  Hₐ diterima.  Keputusanya: “Ada perbedaan kepedulian sosial siswa yang me miliki motivasi belajar tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah”.

    Adanya perbedaan kepedulian sosial siswa yang memiliki motivasi belajar  tinggi dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah antara lain karena siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi akan mampu mengakses fenomena-fenomena sosial yang ada di masyarakat, akan mampu meningkatkan kecerdasan intektual dan kecerdasan sosial. Hal ini sesuai dengan teori belajar sosial “Social Learning Theories” dari Bandura yang menyatakan bahwa seseorang mengontrol lingkungan menggunakan pengalaman tindakanya pada masa lalu. Perilaku seseorang tidaklah ditentukan oleh lingkungan atau otonomi individu semata. Menurut teori belajar sosial, misalnya, Bandura menyatakan bahwa anak-anak akan mengubah perilakunya dalam situasi karena terdapat kebutuhan untuk melakukan sesuatu bila mereka mempunyai keterampilan untuk berbuat sesuatu dan cukup motivasi untuk melakukanya.  Dengan berdasarkan pada teori belajar sosial dari Bandura ini maka dapat disimpulkan bahwa kepedulian sosial dapat dikembangkan, dipelajari atau dibelajarkan pada siswa.

    3. Pengujian Hipotesis Ketiga

    Berdasarkan Tabel 4.1 di atas terlihat bahwa  F  hitung 12,907 dengan probabilitas (p) 0,001.  Jika  p ˂ 0,05, maka  Hₒ  ditolak  yang berarti  Hₐ diterima.

    Keputusanya: “Ada interaksi antara model pembelajaran dan motivasi belajar siswa terhadap kemampuan berpikir kritis”.  Artinya  ada hubungan timbal balik antara kemampuan berpikir kritis dengan model pembelajaran yang diterapkan, begitu juga sebaliknya.  Dan ada hubungan timbal balik antara kemampuan berpikir kritis dengan motivasi belajar siswa begitu juga sebaliknya.

    b. Kompetensi Kepedulian Sosial Siswa

    Berdasarkan Tabel 4.2  di atas terlihat bahwa  F  hitung  12,070  dengan probabilitas (p)  0,000.  Jika p ˂  0,05, maka  Hₒ  ditolak yang berarti  Hₐ diterima.

    Keputusanya: “Ada interaksi antara model pembelajaran dan motivasi belajar siswa terhadap kepedulian sosial siswa”.  Artinya  ada hubungan timbal balik antara penerapan model pembelajaran dengan sikap kepedulian sosial siswa, begitu juga sebaliknya.  Dan ada hubungan timbal balik antara motivasi belajar dengan sikap kepedulian sosial siswa,begitu juga sebaliknya.

     

    SIMPULAN DAN SARAN

    Ada pengaruh yang signifikan antara penerapan model pembelajaran dan motivasi belajar terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dan sikap kepedulian sosial siswa. Model pembelajaran berbasis masalah sosial sangat relevan diterapkan pada siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi dan kurang relevan untuk siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah. Sedangkan model pembelajaran langsung sangat relevan untuk siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah dan kurang relevan untuk siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi.

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

    DAFTAR PUSTAKA

    Arend, Richard I.  2008.  Learning  to  Teach (Belajar Untuk Mengajar).  New York:

    McGraw Hill Companies.

     

    Arikunto, S.  2006.  Prosedur Penelitian, Suatu  Pendekatan  Praktis.  Edisi  ketujuh.

    Bandung:  PPs  UPI.  Tidak dipublikasikan.

     

    Bandura, Albert.  1997.  Social Learning Theory. Englewood Cliffs N.J.  New York: Prentice Hall.

     

    Davidson dan Warsham.  1994.  Cooperatif Learning in the Classroom. Association

    for Supervision and Curriculum Development  Alexandria, Virginia. United

    State of America:  McGraw Hill Companies.

     

    Departemen Pendidikan Nasional. Model Pembelajaran Terpadu IPS. Pusat Kuriku-

    lum,  Badan  Penelitian  dan  Pengembangan  Pendidikan Nasional.  Jakarta:

    Depdikbud.

     

    Dewey, J. 1966. Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education. New York: Free Press

     

    Djamaroh, Saiful Bahri. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

     

    Hamalik, Oemar.  2001.  Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:  Bumi Aksara.

     

    Hamalik, Oemar. 2001.  Proses Belajar Mengajar.  Jakarta:  Bumi Aksara.

     

    Hudojo, H.  2002.  Representasi   Belajar  Berbasis  Masalah.  Prosiding  Konferensi

    Nasional Matematika XI, Edisi Khusus. Jakarta:  Bimi Aksara.

     

    Ibrahim,  M.  dan  Nur. M.   2002.  Pembelajaran  Berdasarkan  Masalah.   Surabaya:

    UNESA University Press.

     

    Isjoni.  2007.  Integrated Learning (Pendekatan  Pembelajaran  IPS  di  Pendidikan

    Dasar).  Bandung:  Falah Production.

     

    Johnson,  D.W,  dan  Hulubec E.J.  1994.  Cooperatif  Learning  in  the  Classroom.

    Association for Supervision and Curriculum Development  Alexandria,

    Virginia. United State of America:  Prentice Hall.

     

    Johnson, Erline B. 2002. CTL (Contextual Teaching &Learning). California: Corwin

    Press.

     

    Juice, Bruce dan Weil.  2000.   Model of Teaching.  USA:  A Person Education Com

    Pany.

     

    Nurhadi dan Senduk, A. G.  2002. Pembelajaran Kontekstual  (Contextual Teaching

    and Learning) dan  Penerapanya  dalam KBK  Malang:   Universitas Negeri

    Malang.

     

    Nur, Muhamad. 2011. Staregi-strategi Belajar.  Surabaya: Pusat Sain dan Matematika Sekolah Unesa.

     

    Sapriya.  2008. Pendidikan IPS. Bandung: Laboratorium PKn Universitas Pendidikan

    Indonesia.

     

    Sardiman. 1992.  Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta:  CV. Rajawali.

     

    Sugiono.  2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif

    dan RD).  Bandung:  Alfabeta.

     

    Supriya. Dkk.  2007.  Konsep Dasar IPS. Bandung. Laboratorium PKn:  UPI.

     

    Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berdasarkan Konstruktivistik.  Jakarta:  Prestasi Pustaka.

     

    Wilson, James Q., 1993. The Moral Sense. New York: Free Press.

     

    _______. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.