Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/Puu-Xvi/2018 Terkait Perluasan Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan Dan Hak Pemanggilan Paksa Dewan Perwakilan Rakyat

  • Satria Rangga Putra Universitas Negeri Surabaya

Abstract

Pengaturan mengenai kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan hak pemanggilan paksa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diatur di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). UU MD3 telah diubah dua kali, terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU MD3. Perubahan tersebut menimbulkan polemik karena terdapat tiga pasal kontroversial terkait perluasan kewenangan MKD dan hak pemanggilan paksa DPR yang berpotensi membuat DPR menjadi anti kritik. Tiga pasal tersebut adalah Pasal 73 ayat (3), (4), (5), dan (6), Pasal 122 huruf l, Pasal 245 ayat (1) yang diuji materi ke Mahkamah Konstitusi tahun 2018. Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018 permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum dan dikabulkan untuk sebagian. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 terkait perluasan kewenangan MKD dan hak pemanggilan paksa DPR, serta untuk menganalisis akibat hukum yang ditimbulkan dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, serta pendekatan konsep. Jenis bahan hukum adalah bahan hukum primer, sekunder, dan non-hukum. Keseluruhan bahan hukum dikumpulkan melalui pendekatan penelitian, dikelola dengan pemilihan bahan hukum yang relevan serta disusun secara sistematis dengan menggunakan teknik analisa preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi seperti tidak konsisten terkait hak pemanggilan paksa DPR dalam Pasal 73 ayat (3), (4), (5), dan (6). Pada satu sisi Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa DPR hanya bisa memanggil paksa setiap orang dalam konteks hak angket melalui bantuan Kepolisian. Pada sisi yang lain pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan kepolisian hanya dapat melakukan panggilan paksa berkaitan dengan proses penegakan hukum. Perluasan kewenangan MKD dalam Pasal 122 huruf l untuk mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR terlalu sumir, multitafsir dan serampangan. Pertimbangan MKD dalam proses pemeriksaan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana Pasal 245 ayat (1), Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 menjadi ultra petita karena melebihi permohonan Pemohon sekaligus membuat Mahkamah Konstitusi menjadi positive legislator kembali. Mahkamah Konstitusi lebih tepat mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya dan tidak menghilangkan pertimbangan MKD melainkan dengan melimitasi waktu pemberian pertimbangan atau dengan menempatkan pertimbangan MKD tidak menjadi conditio sine qua non dikeluarkannya keputusan Presiden, hal tersebut karena pertimbangan dan persetujuan adalah hal yang berbeda. Selain itu, Mahkamah Konstitusi harusnya menyatakan inkonstitusional kata “tidak” karena menimbulkan multitafsir.

Kata kunci: Mahkamah Kehormatan Dewan, Pemanggilan Paksa, Dewan Perwakilan Rakyat, Putusan Mahkamah Konstitusi.

Author Biography

Satria Rangga Putra, Universitas Negeri Surabaya
JURUS TANDUR !!!

References

Habibi, Nur. 2014. “Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Jurnal Cita Hukum. Vol. 1 (1).

Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta: Prenada.

Pearce, D.C. 1969. “Contempt of Parliament—Instrument of Politics or Law?”. Federal Law Review. Vol. 3 (2).

Rahardjo, Satjipto. 2009. Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia. Yogyakarta: Genta Publishing.

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

_________________. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).

_________________. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

_________________. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568).

_________________. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187).

Sholikin, Muhammad Nur. 2005. “Contempt of Parliament dalam Lembaga Perwakilan di Indonesia”. https://parlemen.net/?p=482. diakses pada tanggal 21 Juni 2019. Pukul 21.15 WIB.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers.

Tinambunan, Hezron Sabar Rotua. 2016. ”Reconstruction the Authority of Constitutional Court on Impeachment Process of President and/or Vice President in Indonesia Constitutional System”. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 16 (1).

Wibowo, Mardian. 2015. “Menakar Konstitusionalitas sebuah Kebijakan Hukum Terbuka dalam Pengujian Undang-Undang”. Jurnal Konstitusi. Vol. 12 (2).
Published
2020-11-13
Section
ART 1
Abstract Views: 379
PDF Downloads: 231