PERKEMBANGAN WAYANG POTEHI DI SURABAYA TAHUN 1967-2001

  • SUNARIYADI MASKURIN

Abstract

Abstrak

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam kesenian antara lain wayang. Kesenian wayang juga bermacam-macam, yaitu: wayang kulit (purwa), wayang wong, wayang golek, wayang krucil, wayang gedok dan wayang suluh. Selain wayang Indonesia, Indonesia juga memiliki kesenian yang berasal dari masyarakat Cina seperti wayang potehi berbentuk boneka tangan. Nama potehi berasal dari kata “pouw tee hie”, “pouw” berarti kain, “tee” berarti kantung atau karung, “hie” berarti sandiwara. Keberadaan wayang potehi di Indonesia  turut memperkaya khasana wayang yang ada di Indonesia. Fungsi antara wayang kulit dan wayang potehi sama sebagai media pemujaan roh nenek moyang, sarana dakwah/ritual dan untuk menghibur para suci (dewa-dewi). Perkembangan wayang potehi di Indonesia, khususnya Surabaya mengalami masa suram pada periode tahun 1967-1999. Inpres No. 14 tahun 1967 dicabut dengan demikian wayang potehi dapat dipertunjukan tanpa ada pelarangan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah meliputi tahap heuristik untuk mendapatkan arsip, foto dan hasil wawancara, kritik untuk mendapatkan data sejarah yang harus diverifikasi dengan sumber lain yang sesuai untuk menemukan fakta sejarah, interpretasi menganalisi sumber yang saling berkaitan sesuai tema penelitian dan historiografi.

Penelitian ini menjelaskan bagaimana keberadaan wayang potehi sebelum tahun 1967. Pada masa kolonial wayang potehi menjadi salah satu sarana hiburan bagi masyarakat kolonial yang ada di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari foto-foto pertunjukan wayang potehi di beberapa daerah di Indonesia yang dilihat masyarakat Cina dan Pribumi. Keluarnya Inpres No. 14 Tahun 1967 mempengaruhi perkembangan wayang potehi di Indonesia, khususnya Surabaya. Wayang potehi hanya dipertunjukan di dalam klenteng. Unsur-unsur wayang potehi sebagian besar berasal dari negeri Cina dan kesenian ini bersifat ekslusif yang  dapat dilihat dari bentuk boneka, pakaian, atribut, cerita dan alat musik yang berasal dari negeri Cina. Dari beberapa alasan tersebut hanya beberapa yang sudah berakulturasi dengan budaya Indonesia yakni dalang, yang sebagian besar adalah masyarakat Pribumi.

Keadaan tersebut berubah saat Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 yang membuat kesenian Cina dapat dipertunjukan kembali tanpa ada pelarangan. Beberapa usaha dilakukan untuk pelestarian wayang potehi, seperti 1) pertunjukan di dalam klenteng, 2) regenerasi dalang, pemain dan pembuat boneka wayang potehi, dan 3) wayang potehi sebagai budaya bangsa. Respon masyarakat Cina dan Pribumi terhadap perkembangan wayang potehi tahun 1967-2001 sangat beragam. Sebagian besar masyarakat Cina menyambut baik pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967 yang memungkinkan wayang potehi dapat dipertunjukan tanpa ada pelarangan.

 

Kata Kunci: Wayang Potehi, Masyarakat Cina, dan Perkembangan.

Published
2014-08-05
Abstract Views: 219
PDF Downloads: 191