Archives

  • Bermimpi Membangun "Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa"
    Vol. 14 No. 1 (2025)

    Kalimat "Pemerintahanan yang Bersih dan Berwibawa" mengingatkan pada kita jargon yang disampaikan oleh menteri penerangan pada masa pemerintahan Soeharto (1967-1998). Kalimat yang merupakan antitesis terhadap pemerintahan Soekarno (1945-1966). Kedua pemerintahan tersebut pada akhirnya tumbang dengan isu yang sama, yaitu: korupsi. Di masa pemerintahan Soeharto, korupsi ini kemudian ditopang oleh kolusi dan nepotisme. SH Alatas (1981) dalam buku "Sosiologi Korupsi. Sebuah penjelajahan dengan data kontemporer" menyebutkan bahwa betapa susah membongkar korupsi karena bersifat rahasia dan dilakukan secara berjamaah. Pada gilirannya korupsi kemudian merusak seluruh sendi-sendi berkebangsaan, bahkan Ibnu Khaldun mengatakan bahwa korupsi menghancurkan peradaban bangsa tersebut. Sejumlah negara berhasil korupsi dengan cara mengatasi korupsi dengan budaya malu. Budaya malu itu bukan sekedar mengajarkan takut karena dosa atau karma, tetapi lebih melihat bahwa kejahatannya telah menghancurkan masyarakat. Bahkan, secara ekstrim kematian pun tidak menebus kesalahan tersebut. Hal itu berbeda cerita-cerita yang memberi landasan nilai-nilai anak. Cerita "Kancil Mencuri Ketimun" yang berisi "kecerdikan" kancil mengelabui petani untuk mendapatkan ketimun. Atau, sering terlontar kalimat, "berbohong demi kebaikan," atau misalnya orangtua yang menyalahkan batu ketika anak menangis karena jatuh tersandung batu. Nilai-nilai yang demikian membuat orang permisif terhadap tindakan korupsi. Di pihak lain, kekuasaan membang memberi peluang untuk korupsi. Oleh karena itu, tidak salah bila ada orang mengatakan orang dikatakan baik bila sudah teruji dengan kekuasaan. Sejarah Indonesia pernah mencatat Hoegeng Iman Santoso sebagai Kapolri (1968-1971) yang sederhana dan tidak korup. Ia bisa menjadi role model. Hal itu harus dimulai dari lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi, agar bisa mereproduksi nilai-nilai anti-korupsi dan mentranformasikan ke dalam masyarakat.   

  • IKN: Harapan atau Mimpi Buruk?
    Vol. 13 No. 3 (2024)

    Tidak pilihan lain. Ekosistem DKI Jakarta memang rusak. Bencana alam dan masalah-masalah sosial merupakan penanda dari kerusakan ekologis. Kota ini mengalami kelebihan beban. Penduduk kota sudah mencapai 11 kali lipat dari perencanaan Batavia pada saat pemerintahan kolonial Hindia Belanda. 

    Seperti negara-negara lain, mereka memindahkan ibukota dengan membangun kota baru. Australia dengan Canbera, Amerika Serikat dengan Washington DC, atau Malaysia memindahkan urusan adiministratifnya ke kota Putrajaya. Mereka merencanakan dan membangun lebih dari satu dekade, tetapi Indonesia merencanakan kurang dari lima tahun. Ketergesaan secara sosiologis bukan hal yang bagus. Pertama, ibukota bary busa mengakibatkan peminggiran masyarakat lokal. Saat ini, masyarakat Dayak memang bangga wilayah menjadi ibukota. Namun demikian, ketidaksamaan kultur dan sosial ekonomi membuat mereka kelak tersingkir. Kedua, ibukota bukan sekedar bangunan fisik, tetapi merupakan pembentukan bangunan sosial baru. Ketergesa-gesaan berakibat kegagapan sosial. Gagap tidak bisa mengakses teknologi baru, gagap tidak bisa mengakses masuk ke dalam ibukota tersebut. Semoga pemerintah sudah memperhitungkan dan mengantipasi! 

  • Peningkatan Kualitas ataukah Komodifikasi Pendidikan?
    Vol. 13 No. 2 (2024)

    Terjadi perdebatan yang cukup sulit tentang pendidikan. Pendidikan yang berkualitas itu tidak murah. Membiayai pendidikan berkualitas itu investasi sosial, bukan pembiayaan, apalagi pemborosan (social investment isn't social financing). Oleh karena itu, membiayai anak bukan hal yang sia-sia, tetapi akan membawa masa depan yang lebih cerah. Bukankah, institusi pendidikan itu sebagai instrumen mobilitas sosial, bahkan John Kenneth Galbraith dalam buku "The Nature of Mass Poverty" (1979) mengatakan pendidikan itu sebagai satu-satu jalan membebaskan individu dari kemiskinan. Hal yang sama dikatakan juga oleh Paolo Freire dalam buku Pedagogy of The Oppressed (1968), pendidikan harus membebaskan dari ketertindasan. Persoalannya, seringkali negara melepaskan diri dari tanggung jawabnya, yaitu: mensejahterakan rakyatnya (Welfare State). Alih-alih demi kemajuan, kreativitas dan independensi instusi pendidikan, pemerintah bersemangat menjadikan PTN sebagai PTNBH. Kebijakan ini seolah-olah gayung bersambut pada pengelolanya untuk mengurangi kontrol negara, apalagi dalam masalah keuangan. Celakanya, tidak memiliki kemampuan manajerial yang baik. Kurang memiliki kewirausahaan yang tinggi. Akhirnya, hanya mengambil peluang tanpa melihat resiko. Menaikkan UKT sebagai jalan pintas!

  • Menuju Indonesia Emas 2045 dengan Beretika dan Bermartabat
    Vol. 13 No. 1 (2024)

    Masa Ke-emas-an adalah puncak dari peradaban suatu bangsa. Namun demikian, ada baiknya tidak berharap sebagai kurve atau lingkaran yang bisa berputar ke bawah. Dalam filosofi Jawa, orang mengenal sebagai cakra manggilingan atau dalam sosiologi dikenal sebagai siklus. Ada saatnya di atas, ada saatnya di bawah. Indonesia Emas bukan seperti siklus, tetapi bersifat gradual terus menanjak.

  • Pemberdayaan Komunitas Lokal dalam Masyarakat Global paska Pandemi COVID-19
    Vol. 12 No. 2 (2023)

    Pandemi COVID-19 secara nyata telah memporak-poranda masyarakat. Masyarakat dipaksa memasuki Revolusi Industri 4.0 dan menjadi Society 5.0. Dengan keterbatasan penguasaan teknologi, masyarakat tertatih-tatih, tergagap-gagap dan berjuang keras agar bisa harmoni dengan kondisi saat ini. Pemberdayaan masyarakat menjadi kata kunci untuk percepatan proses penyatuan ke dalam Revolusi Industri 4.0

  • Membangun Peradaban paska Pandemi
    Vol. 12 No. 1 (2023)

    Pandemi COVID-19 merupakan musibah yang luar biasa terjadi pada masyarakat dunia. Pandemi secara nyata telah mengubah pola pikir dan tindakan manusia. Masyarakat dunia semula diminta oleh alam melakukan introspeksi, kini harus bangkit dan membangun peradaban baru

  • Era Baru Post Pandemic
    Vol. 11 No. 1 (2022)

    Tema jurnal edisi saat ini adalah Tantangan di Era Post Pandemik. Masyarakat 'dipaksa' untuk beradaptasi secara cepat : dari situasi normal ke pandemik, masuk era new normal dan sekarang  mulai masuk post pandemik.  Di era post pandemik diharapkan tentunya kondisi sosial ekonomi masyarakat dapat berubah lebih baik. walaupun hal tersebut tergolong tidak mudah. Tantangan-tantangan tersebut tentunya memberikan warna tersendiri pada edisi jurnal kali ini.

  • Vol. 9 No. 2 (2020)

    Di dalam industri dan paska industri, media menjadi kata kunci dalam proses produksi dan distribusi di satu pihak. Di pihak lain, media membangun realitas di atas kenyataan masyarakat. Melalui sejumlah tulisan di bawah ini, pembaca diajak untuk memahami bangunan realitas media, mulai dari iklan hingga film dan novel.

  • Vol 6 Nomor 1 (2018)
    Vol. 6 No. 1 (2018)

  • Vol 5 Nomer 3 (2017)
    Vol. 5 No. 3 (2017)

1-25 of 39