Current Issue

Vol. 14 No. 3 (2025): MBG versus Ketahanan Pangan
					View Vol. 14 No. 3 (2025): MBG versus Ketahanan Pangan

Penerapan MBG (Makan Bergizi Gratis) menjadi polemik di dalam masyarakat, terlebih lagi terjadi peristiwa keracunan paska mengkonsumsi sajian MBG. Pemerintah dan sebagian masyarakat mempertahankan kebijakan tersebut. Bagi Presiden Prabowo, MBG merupakan pemenuhan janji kampanye. Seorang pemimpin yang baik harus dipercaya kata-katanya. Apabila tidak dilaksanakan, maka terjadi deligitimasi kepemimpinan nasional. Sebagian yang menolak mencermati bahwa program tersebut beresiko terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme. Keracunan MBG sebagai indikasi yang kuat dari kesalahan pengelolaan (mis-management) atau tepatnya ketidakbecusan dan tepatnya tidak profesional. Kesalahan pengelolaan sering diterangarai sebagai produk dari perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Tidak salah kemudian publik mengritisi struktur kelembagaan BGN (Badan Gizi Nasional) hingga SPPG MBG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi MBG). Persoalannya berlanjut hingga biaya produksi satu porsi MBG.

MBG sebenarnya bukan hal yang buruk. Program MBG atau makan sekolah gratis (free meal school) telah dilaksanakan sejak akhir abad ke-19. Jepang melaksanakan (kyushoku) sejak tahun 1889, Inggris (tahun 1906), Amerika Serikat (tahun 1946), bahkan India (1995) dan Nigeri (2012). Salah satu tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas gizi anak. Anak merupakan masa depan bangsa. Secara nyata, meskipun tidak perlu mengukur secara kuantitatif, mereka telah berhasil meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sudah barang tentu, hal itu ditunjang oleh kualitas lembaga pendidikan.

Di balik MBG, sebenarnya merupakan persoalan distribusi (pemanfaatan) dalam ketahanan pangan. Intervensi pemerintah melalui MBG sebenarnya menunjukkan kegamangan dalam ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan bukan sekedar ketersediaan pangan (availability), tetapi keterjangkauan (accessibility) dan pemanfaatan (utilization). MBG sebagai kritik atas ketersediaan pangan. Angka-angka impor bahan pangan yang susah untuk turun menunjukkan ketersediaan pangan retan, begitu pula harga yang meningkat, sehingga harus dilakukan operasi pasar telah menggambarkan kerentanan dalam keterjangkauan. Belum lagi angka anak stunting yang terus menerus harus diperjuangkan untuk turun. Angka anak stunding menunjukkan terjadi pemanfaatan yang kurang tepat. Dalam situasi itu, publik harus pula secara cermat menelisik jumlah penduduk miskin ekstrim.    

Published: 2025-11-26

Articles

View All Issues